SIAPA YANG BENAR DAN SIAPA YANG SALAH?

Bismillah,


Berawal dari keresahan yang sekarang sedang saya rasakan.

Soal SIAPA YANG BENAR DAN SIAPA YANG SALAH?

Kenyataannya di kondisi yang sekarang, semua profesi sedang bekerja di bawah tekanan! Bagaimana tidak ditengah pandemic seperti sekarang ekonomi kita merosot jauh, kondisi keuangan sedang jauh dari kondisi stabil. Banyak perusahaan yang terpaksa memberhentikan karyawannya, anak yang putus sekolah, kaum ibu yang turut turun ke jalan demi membantu kondisi keuangan, dan masih banyak lagi dampaknya.

Keluarga kecil yang harus berpikir lebih dalam untuk terus memutar perekonomiannya. Belum lagi kebutuhan serba tidak terduga yang semakin melambung. Atau si perantau yang harus berpikir ulang untuk pulang kampung, karena syarat keluar daerah atau pulau tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Wah Stress! Iya banget!

Banyak problema yang muncul akibat pandemic ini. Dari urusan keluarga sampai urusan pekerjaan. Semua menguras energi dan emosi. Pada fase ini yang akan di serang bukan lagi system imun tubuh. Melainkan kondisi psikis yang semakin lama semakin menurun. Hoax? Bukan, ini bukan hoax. Bisa kita lihat bagaimana masyarakat terus memberikan reaksi yang negative akan kebijakan-kebijakan yang diterapkan atau reaksi yang tidak tanggung-tanggung menyerang satu pihak, orang tua murid misalnya. Yang merasa Lelah karena anak-anak mereka sudah terlalu lama tinggal dirumah! Atau bahkan keduanya? Anak-anak mereka juga sudah mulai jenuh bahkan bosan untuk tetap dirumah.

Harusnya kita sudah berada di tahap adaptasi setelah 3 bulan tinggal dirumah dan melakukan semua pekerjaan dari rumah. Tapi nyatanya tidak! Ada kondisi dimana kita sebagai manusia memerlukan hal lebih luas untuk sekedar menyembuhkan diri sendiri.

Wah rasanya berat sekali berada di kondisi ini.

Ada cerita, dimana orang tua merasa cara mengajar jarak jauh di beberapa sekolah seperti tidak mempertimbangkan kondisi orang tua dirumah atau tidak mempertimbangkan kondisi siswa. Seperti cara guru mengajar dari jarak jauh, atau sekedar guru yang hanya memberikan tugas. Lalu siapa yang salah? Guru? Atau orang tua? Tidak! Tidak ada yang salah dari keduanya!

Ini bukan tentang siapa yang salah atau siapa yang benar. Karena sekarang kita dipaksa untuk menerima percepatan informasi dan hal-hal yang baru dengan cepat. Baik secara langsung maupun tidak. Kalau dari orang tua murid mungkin merasa kewalahan dan bicara “saya tidak punya bakat mengajar dirumah” jadi kapan sekolah masuk? Kalau begitu guru-guru juga berhak bilang “Saya bukan lulusan IT yang dengan cepat membuat materi dengan baik dan bisa diterima oleh siswa juga dengan baik” nah hal ini menunjukkan bahwa kita semua, baik guru, orangtua, pedagang, kepala sekolah, tukang sayur, dan profesi lainnya memang tegah menjadi korban atau dampak dari pandemic ini.

Tidak berhenti di situ kesalahpahaman juga sekarang rentan sekali terjadi. Karena banyaknya beban yang ditanggung oleh masing-masing pribadi dengan kondisi yang berbeda-beda. Orang lebih cepat tersinggung, lebih cepat menilai, dan lebih cepat mendiskriminasi atau menyalahkan. Yang padahal sebetulnya ia bisa lebih bijak bersikap.

Tidak bisa di pungkiri dan di hindari hal ini akan terjadi. Karena perubahan ekonomi dan cara kerja bumi pada masa ini sangat berbeda dari kondisi normal. It’s a new normal! Dan adaptasinya? its upnorma! Banyak pihak yang jungkir balik melalui ini.

Disini saya akan membahas dari sudut pandang saya sebagai seorang guru.

 

SEMUA HAL DIPERTIMBANGKAN

Dari banyaknya keluhan orang tua murid mengenai kebijakan Belajar Dari Rumah atau BDR kepada beberapa sekolah tentunya ini menjadi hal yang sangat rumit untuk di putuskan. Banyak hal yang di pertimbangkan. Kesehatan fisik, psikis, perekonomian baik orang tua maupun guru, satf dan lain-lain. Setiap instansi saya yakin selalu mengupayakan yang terbaik dari setiap kebijaknnya. Dari segi keuangan misalnya, beberapa sekolah memotong biaya bulanan dan dialihkan pada biaya yang lain karena melihat banyak orang tua yang terdampak pada pandemic ini. Namun di sisi lain, ada hal yang harus diperhatikan seperti kondisi guru-guru terlebih pada sekolah berstatus swasta.

Kemudian bagiamana cara pembelajaran yang layak yang harus di terapkan pada siswa di kondisi pandemic ini. Sulit dan rumit! Pembahasannya tidak cukup jika hanya di bahas selama 5 hari atau 1 pekan! Karena lagi-lagi kita dipaksa untuk adaptif dan bergerak cepat sehingga segala keputusan yang diambil dianggap telah melibatkan seluruh energi baik fisik maupun mental.

Banyak hal baru yang mesti kita pelajari dengan cepat. Teknologi, kondisi emosi, kondisi lingkungan, cara belajar, media pembelajaran serta hal-hal lain yang memaksa kita untuk seolah-olah menjadi seorang guru yang sempurna. Jika di kondisi normal mungkin kita hanya di buat stress oleh ulah siswa dan nilai siswa yang jauh dari ekspektasi pada masa ini kita para guru dituntut 3 kali lipat lebih cepat dan lebih tanggap dalam menghadapi kelas secara virtual.

Ada banyak hal yang harus di lakukan. Bukan hanya sekedar membalas dan memberikan tugas. Ada banyak isi kepala yang harus dipahami  dan hati yang harus kami jaga. Ada banyak kondisi dan lingkungan yang harus kami sesuaikan. Sangat menekan dan sebaik mungkin kami terapkan dengan hati.

Menjaga imun dengan makan-makanan yang sehat itu hal yang bisa dilihat, tapi kondisi mental sungguh hal yang sangat sulit untuk di terawang.  Maka dari itu ada banyak sekali hal yang harus kami pertimbangkan. Bukan tidak memikirkan kondisi orang tua siswa satu persatu. Tentu kami melilhat dari segi yang lebih dominan dan pertimbangan yang baik dari semua pihak jadi ya tidak berat sebelah.

Berbeda pendapat sangat wajar terjadi karena pada kondisi ini kita bukan hanya menguntungkan satu pihak saja. Melainkan mencari hal yang betul-betul baik untuk semua pihak. Hal ini pasti berbeda jauh pada kondisi sekolah negeri dimana pastinya kondisi ekonomi orang tua wali murid yang berbeda-beda pula. Dan yang pasti lagi kebijakan yang diterapkan di setiap instansi Pendidikan akan berbeda.

 

 

PROSES MENTAL YANG BERAT

Di tengah kondisi seperti ini pastinya banyak mengubah sudut pandang dan cara hidup kita. Baik orang dewasa maupun anak-anak. Yang kita akan bahas adalah anak-anak. Dimana mereka adalah sosok paling terdampak dari pandemic ini. Belajar dari rumah, pastinya akan lebih aman karena mereka akan terhindar dari virus diluaran sana yang berterbangan. Tapi pernahkah kitab berpikir bagaiman kondisi mental mereka terbentuk? Bagaimana kondisi mental mereka terkurung? Bagaimana kondisi mental mereka terpuruk? Tidak sedikit dari mereka merasakan kejenuhan yang teramat. Hal ini disebabkan karena mereka belum mempunyai kemampuan yang cukup dalam mengelola emosinya. Ya, jangankan anak-anak terkadang orang dewasa saja masih sering labil dalam mengendalikan emosinya.

Bagi anak-anak usia sekolah dasar, hal ini sangat membosankan karena pada usia ini mereka lebih banyak membutuhkan Gerakan dari tubuhnya dibandingkan dengan beripikir. Meskipun sudah banyak sekolah yang membiasakan berpikir tingkat tinggi namun hal naluriah dari anak untuk menyalurkan energinya dengan bergerak akan sangat terbatas atas pandemic ini. Bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada kondisi psikisnya di masa yang akan datang. Karena pernah berada di masa pandemic seperti ini hampir satu tahun mereka harus menahan segala emosi hanya dengan di dalam rumah.

Berbeda lagi bagi anak-anak di usia remaja. Mereka adalah jiwa-jiwa yang mulai mengerti apa yang menjadi keinginan mereka. Mereka butuh berekspresi, dan mengeluarkan pendapatnya. Mereka butuh diakui dan dihargai pendapatnya. Nah lantas pada saat kondisi seperti ini apa yang menjadi masalah bagi mereka? Jenuh dan bosan! Lelah karena terus terusan menjadi pelampiasan orang dewasa sekitarnya saat mengalami tekanan diluar sana. “Aku capek dimarahi terus, padahal yang di inginkan orang dewasa sudah kujalani”. WOW it’s a big problem.

Proses pendewasaan mereka sangat berat bisa saya bilang, kondisinya justru bukan lagi bagaimana memilih teman yang baik saat sekolah atau bagaimana cara menanggapi teman yang arogan diluaran sana. Mereka justru tengah bertempur dengan kondisi emosi yang babak belur. Merasa sering terdiskriminasi karena sering dimarahi oleh orang dewasa di rumah, belum lagi cara menyerap materi pembelajaran secara daring, dan tidak memiliki wadah yang cukup untuk menuangkan emosi serta kreatifitasnya. Dimana saat di sekolah mereka bisa menuangkannya di dalam kegiatan-kegiatan yang menunjang kreatifitas mereka.

Kondisi ini akan sangat berat bagi mereka, karena pada masa ini mereka membutuhkan arahan serta bimbingan yang baik dari orang dewasa. Nmaun ternyata orang dewasa yang diharapkan tengah mengalami tekanan dari berbagai pihak. Lantas bagiamana seharusnya mereka dapat mengatasi kondisi pandemic ini dengan baik?

Jika bagi orang dewasa saja ini hal yang berat, bagaimana dengan ana-anak yang belum sepenuhnya paham tentang kondisi mereka dan kondisi bumi yang berubah dengan cepat?

 

MENGELOLA EMOSI

Mengapa masalah-masalah yang terjadi sepertinya menjadi berlarut-larut dan seperti tidak ditemui jalan keluarnya? Bisa jadi hal tersebut karena mereka tidak dapat mengelola emosi dengan baik. Terlalu memikirkan diri sendiri dan terlalu cepat mengambil keputusan terkadang memang terlihat egois dan seperti menempatkan diri di bagian paling perlu perhatian. Padahal di dalam lingkungan kita boleh jadi ada banyak hal yang lebih berat, ada banyak rekan yang jauh kebih memiliki masalah. Maka belajar mengelola emosi dengan baik adalah hal yang harus kita punya dalam kondisi seperti ini. Dengan menahan lisan misalnya, atau sekedar menjaga perasaan seseorang dalam menyampaikan sesuatu.

Ingat, dalam kondisi ini bukan hanya kita yang terpuruk bukan hanya kita yang tertekan, bukan hanya diri kita yang menjadi korban terdampak. Saling menjaga dan menghormati  juga merupakan upaya pengelolaan emosi yang baik. Dalam islam juga telah di atur dalam mengendalikan emosi. Yakni Ketika kita marah, cobalah untuk duduk, kemudian jika masih marah cobalah untuk berbaring, namun jika masih marah segera ambil air untuk berwudhu hingga kemudian melaksanakan shalat. Hal ini dapat kita ketahui Bersama bahwa dalam mengelola emosi kita mesti memahami dan mengendalikan gejolak di dalam diri yang apabila tidak kita pikirkan dengan baik dapat merugikan orang lain. Entah dari segi yang terlihat maupun tidak.

Manusia memang tempat lupa dan salah, namun manusia diberikan akal untuk berpikir. Nah jalan memelajari untuk mengendalikan emosi adalah salah satu upaya bagi kita manusia agar menjadi pribadi yang lebih baik. Boleh tidak kita mengeluh? Boleh! Tapi hanya kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena sejatinya tempat terbaik untuk meminta adalah Allah. Yang mana segala seuatunya di tentukan atas kehendaknya.

 

Jadi kesimpulannya tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah dalam kondisi saat ini. Toleransi dan saling menghargai adalah hal yang paling sering diuji. Maka berhenti mencari kesalahan atau menuduh satu pihak sebagai sebab atau dalang. Karena boleh jadi hak yang mereka lakukan adalah hal yang sudah dipikirkan dan mereka tahu apa yang menjadi resiko yang terjadi.

Alhamdulillah, isi kepala yang menumpuk hari ini sedikit berkurang karena sudah di tuliskan. Tidak banyak refrensi yang saya masukkan karena ini murni apa yang ada dalam isi kepala saya. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf, masukkan teman-teman sangat dibutuhkan demi membuat tulisan ini menjadi lebih baik lagi.

Syukron – arigatou gozaimazu – terima kasih!

Wassalamualaikum..


Penulis dapat ditemui di instagram @andinitunnisa dan channel pembelajaran youtube Bunga Matahari Channel

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa dan Hujan

Basah dan teduh bagian 1